Diversi: Haruskah Anak Masuk Penjara Bila Melanggar Hukum?

ntb.kemenkumham.go.id. Kata Diversi mungkin masih asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang awam tentang hukum. Padahal Diversi merupakan salah satu langkah untuk memberikan kesempatan kedua bagi seorang anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat menyadari kesalahannya tanpa harus di pidana (red: masuk penjara). Entah itu karena kesalahan atau pelanggaran hukum yang dibuatnya itu dilakukan secara tidak sengaja maupun sengaja, 2nd chance

Apa itu Diversi?

Diversi diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi merupakan langkah pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Apa Tujuan Diversi?

Adapun beberapa tujuan Diversi  antara lain :

  • mencapai perdamaian antara korban dan anak pelaku;
  • menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
  • menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
  • mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelesaian tindak pidana anak; dan
  • menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak pelaku itu sendiri.

Bagaimana Proses Diversi dilakukan?

Perlu dipahami bahwa penyelesaian pidana anak melalui diversi dilakukan dengan pendekatan restoratif dimana pelaksanaannya lebih mengedepankan musyawarah dan melibatkan semua pihak terkait seperti anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan (BAPAS), Pekerja Sosial (PEKSOS) Profesional, perwakilan dan pihak terlibat lainnya agar tercapai kesepakatan diversi dan menghindarkan anak di pidana atau menjalani hukuman pidana.

Dengan kata lain, Musyawarah Diversi adalah penyelesaian tindak pidana anak melalui konsep dialog antara semua pihak sehingga menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang mengedepankan keadilan restoratif.  Dalam pelaksanaan Dialog atau musyawarah sangat diperlukan fasilitator, dalam hal ini fasilitator dimaksud adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. 

Dalam PERMA Nomor 04 tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak dengan kategori telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi yang mewajibkan fasilitator untuk dapat memberikan kesempatan kepada:

  1. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan;
  2. Orang tua / wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan;
  3. Korban / anak korban / orang tua / wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

Diversi dinyatakan berhasil apabila tercapai kesepakatan dari kedua belah pihak (pelaku dan korban) pada saat musyawarah dan sesuai dengan rekomendasi Laporan Hasil Penelitian Pembimbing Kemasyarakatan (PK Bapas). Dalam hal tidak tercapai kesepakatan atau pelaksanaan kesepakatan tidak dipenuhi seluruhnya, maka Hakim dapat melakukan pemeriksaan perkara sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak berdasarkan laporan PK.

Di samping itu, dalam mencapai keadilan restoratif, pelaksanaan diversi dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu atau berupa tindakan lainnya yang dilakukan dengan tujuan untuk pemulihan bagi anak serta korban, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman, hak-hak anak tersebut tidak boleh diabaikan, sehingga pada akhirnya penanganan non formal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.

Apa itu Keadilan Restoratif?

Keadilan Restoratif sendiri didefinisikan sebagai “penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggung jawab dan membuat perubahan, yang semuanya itu merupakan pedoman bagi proses restorasi.

Maka masyarakat perlu tahu dan paham bahwa ada alternatif lain yang bisa ditempuh jika memiliki anak atau keluarga dengan kategori anak  terlibat permasalahan hukum agar sebisa mungkin tidak melalui jalur Hukum Pidana melainkan mengambil langkah keadilan restoratif melalui proses Diversi (musyawarah bersama).

Bagaimana cara mengakses Diversi?

UU SPPA yang mengatur Diversi sudah di sosialisasikan ke seluruh Aparatur Penegak Hukum (APH) yang meliputi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Kemenkumham, sehingga secara otomatis apabila terjadi perihal anak berhadapan dengan hukum atau melanggar hukum, maka APH akan langsung mengupayakan proses diversi terlebih dahulu dengan menghubungi pihak-pihak terkait yang salah satunya PK (pembimbing Kemasyarakatan) untuk dapat dilakukan pendampingan. Contoh di tingkat kepolisian, maka polres atau polsek terkait akan bersurat kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk meminta petugas PK mendampingi dan melakukan Litmas (penelitian Kemasyarakatan) terhadap si anak pelaku ini.

Nah sekian dulu penjelasan tentang Diversi, untuk selanjutnya apabila anda masih butuh informasi seputar Diversi dapat mengunjungi layanan informasi atau Konsultasi yang ada di instansi APH terkait atau datang langsung ke Kanwil Kementerian Hukum dan HAM terdekat atau ke Kantor Balai Pemasyarakatan terdekat di wilayah anda.

 


Cetak   E-mail